Liburan hari raya Paskah kali ini tidak ada rencana khusus untuk wisata. Saatnya untuk melaksanakan “dendam” lama, mengambil gambar keindahan Sungai Grindulu yang mengalir dan bermuara di teluk Pacitan, Jawa Timur. Beberapa tahun lalu pernah melalui jalur tembusan dari Ponorogo – Slahung dan sampai ke Pacitan tersebut, namun karena hujan deras dan terburu waktu karena sudah sore dan ada rencana lain, maka pemandangan yang mempesona tersebut lepas dari rekaman kamera kami.
Perjalanan kali ini dimulai pagi hari pukul 7 dengan mengambil jalur dari Jogja ke arah Wonosari diteruskan menuju Pracimantoro, Wonogiri – Giribelah – Punung, Pacitan melalui jalur tembusan yang dirintis untuk menjadi jalur jalan lintas selatan jawa. Sampai di Punung 2 jam kemudian dengan mengambil lintasan di dekat Goa Tabuhan dan mengambil jalur jalan ke Goa Gong, maka kami berhenti sejenak untuk makan pagi di Pasar Punung, Pacitan, setelah sebelumnya juga sempat berhenti sebentar di Pracimantoro untuk mengisi bensin yang sudah habis separuh dari kondisi penuh.
Saat tenaga sudah recharged, perjalanan diteruskan menuju ke teluk Pacitan, namun dengan mengambil jalur tembusan yang langsung menuju kota, tidak melewati jalur perbukitan mendekati pantai. Sebenarnya bagi yang menginginkan pemandangan yang lumayan bagus, disarankan melewati jalur perbukitan ini, karena selain kondisi jalannya yang berkelak-kelok khas pegunungan, juga nantinya akan mendapatkan view yang bagus saat melintas di ketinggian bukit dan disuguhi dengan pemandangan indahnya teluk pacitan dari atas tebing, selain juga melewati hutan lindung sebelum masuk area pantai Pacitan. Namun karena tujuan kami tidak untuk mengabadikan keindahan teluk Pacitan ini, kami memilih jalur tembusan langsung menuju Pacitan yang menghemat jarak lebih dari separuh jalan.
Di Pacitan ini ada dua jalur keluar kota, satu menuju ke Ponorogo, yang lain menuju ke Trenggalek. Kami memilih jalur ke Ponorogo, dimana Sungai Grindulu ini akan menemani hampir separuh dari perjalanan kami menuju Slahung, Ponorogo. Pada awalnya sungai ini masih kelihatan biasa, lebar, berwarna coklat, dengan bantaran pasir di dikiri kanannya dan hamparan padang rumput membentuk pulau-pulau kecil di badan sungainya. Diapit oleh perbukitan di kiri kanannya agak jauh. Namun ketika sudah beberapa kilometer kami menyusuri sungai ini menuju arah Slahung, maka keindahan ini perlahan-lahan dimunculkan. Aliran air yang deras menghantam sela-sela batu dan dibatasi oleh tebing perbukitan di sebelah kanan kami yang begitu dekat, dan badan jalan di sebelah kirinya, yang juga kemudian berdinding tebing bukit.Mungkin dahulunya jalan ini dibuat mengikuti badan sungai sehingga turunan dan tanjakannya tidak terlalu tinggi seperti jika harus melintasi bukit itu sendiri. Dan sungai pun juga terbentuk dengan memilih jalurnya sendiri melintasi lembah-lembah di sela-sela perbukitan tersebut, sehinggal jalan dan lembah sungai ini dari sananya memang diapit oleh bukit-bukit, atau memang bukit-bukit yang mengapit sungai ini…??? entahlah….. ha..ha..ha…
Di daerah Tegalombo, lokasi utama yang kami tuju, keanehan itu mulai muncul. Bagi kami yang bukan orang geologi adalah merupakan suatu keanehan sekaligus keindahan, dimana jarang kami temui di daerah lain. Bebatuan yang ada di sungai ternyata berwarna kehijauan, bukan karena lumut, namun warnanya memang kehijauan. Warna itu ternyata tidak hanya dibagian luarnya, karena ketika kami lihat dibeberapa tempat dimana orang bekerja dengan memecah bebatuan tersebut dan mengumpulkannya disisi jalan, untuk dijual, ternyata bagian dalam bebatuan tersebut juga berwarna hijau. Menurut cerita dari seorang teman, jenis bebatuan tersebut merupakan batuan marmer muda. Air kecoklatan karena habis hujan lebat mengalir disela-sela bebatuan yang kehijauan dan diapit oleh hijaunya pepohonan diperbukitan di samping badan jalan dan sungai merupakan suatu perpaduan warna yang indah. Kadang-kadang kami juga menemukan indahnya air terjun kecil di sungai ini, air memancar keputih-putihan disela-sela tebing bebatuan, sungguh indah…
Ketika sampai Slahung, perjalanan dilanjutkan ke Ponorogo dan kemudian mengambil jalur ke Sukorejo – Parang – Poncol, Magetan, setelah sebelumnya istirahat sejenak dan mengisi bahan bakar di jalur jalan Ponorogo – Wonogiri. Di daerah Sukorejo, kami sempat melintasi hutan mahoni atau karet (kami tidak sempat mengamatinya) yang lumayan sepi, dan mungkin tidak akan berani lagi melintas disana jika saatnya sudah sore dan malam, karena begitu rimbun tanpa adanya rumah di kiri kanannya. Dari papan naman yang sempat terbaca sekilas kala kami melintas, hutan jati ini masuk areal KPH Madiun.
Bonus pemandangan kami dapatkan ketika kami sudah memasuki daerah Poncol, Magetan. Jalanan yang kami lewati merupakan punggung bukit, dan dari sini kami memiliki sudut pandang yang luas, baik di kiri dan kanan jalan, maka beberapa kali kami juga berhenti untuk mengambil gambar keindahan alam karunia Tuhan ini. Disatu titik jalur yang kami lewati terlihat ada sebuah jembatan yang melintas di lembah, diapit dengan areal persawahan yang diolah secara terasiring, dan jalan yang kemudian naik dan menikung, sungguh suatu kurva alam yang begitu indah…
Jalan ini ternyata langsung menuju daerah Plaosan, area dekat tempat wisata Sarangan. Dari sini jalur jalan utama sudah lebih lebar namun dengan tanjakan-tanjakan yang terjal dan memaksa motor kami harus menggunakan persneling di gigi satu. Dan sebuah pemandangan yang menggoda untuk diabadikan lagi mulai lagi disajikan pada kami. Danau Sarangan yang indah yang dikelilingi oleh berpuluh hotel dan penginapan dan dibatasi oleh hutan dan tebing di satu sisi merupakan sebuah tempat yang begitu cukup tenang untuk menenangkan pikiran dari rutinitas keseharian, apalagi ketika kabut mulai menyelimuti wilayah ini, tapi tentu saja bukan keseharian orang yang memang tinggal atau bekerja di Sarangan ini, ha..ha..ha..
Perjalanan dilanjutkan, masih menanjak dan beberapa kali benar-benar memaksa kerja mesin dari motor yang kami naiki dengan beban kerja yang paling berat yang dapat diberikannya, apalagi ketika jalan menanjak dan menikung tajam. Dan suasana mistik seketika menyelimuti kami, ketika jalan yang harus kami lalui diselimuti oleh kabut tebal dengan jarak pandang kedepan sangat terbatas, dan dikiri kanan jalan diapit oleh pepohonan yang besar yang diselimuti oleh lumut dibadan pohonnya, dan masih dililit oleh tetumbuhan merambat serta dikelilingi oleh semak-semak. Sungguh pemandangan yang cukup menggetarkan waktu itu, apalagi motor tidak bisa berjalan cepat juga, sepertinya tenaganya drop. Kemungkinan hal ini juga karena berada di lokasi diketinggian, dimana oksigen yang diperlukan untuk pembakaran berkurang, hal sama juga seperti yang saya alami ketika berada di ketinggian daerah Batur, dataran tinggi Dieng. Kabut tebal itu sedikit-sedikit menghilang ketika kami sudah masuk daerah Jawa Tengah lagi melewati daerah Cemorosewu yang jalannya ternyata sudah diperlebar dan diperhalus, dan masuk wilayah Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Disinilah akhir dari surga yang seharian ini kami telusuri, karena setelah masuk di kota Karanganyar, perjalanan hanya tinggal untuk pulang kerumah. Setelah mengisi bahan bakar untuk yang ketiga kalinya di Surakarta dan sempat makan siang sekaligus makan malam di daerah Delanggu, maka kami tiba kembali di Jogja sekitar pukul 7 malam. Sebuah perjalanan 12 jam yang lumayan memberikan sebuah pengalaman baru kepada kami, meskipun di beberapa tempat kami sempat memakai dan melepas jas hujan beberapa kali karena memang hujan yang tidak merata, namun untunglah di daerah-daerah terindah, tidak hujan sama sekali atau habis hujan, sehingga kami masih dapat mengambil beberapa gambar disana.
Dan inilah yang dapat kami katakan: “What a wonderful tour…, in a wonderful land…!”
ConversionConversion EmoticonEmoticon