">
Lazada Indonesia

Kekhusukan Berdoa dan Bermeditasi di Giri yang Wening

Berbicara tentang tempat ziarah bagi umat Katolik diseputar Jogja hampir pasti sudah pernah mendengar tentang Sendang Sono. Sendang Sono merupakan Gua Maria tiruan Gua Maria Lourdes di Perancis. Saat saya masih kecil, setiap bulan Maria, yaitu bulan Mei, Gua Maria Sendang Sono pasti selalu ramai dan menimbulkan kemacetan di sepanjang jalan muntilan-sentolo pada ruas Kalibawang. Banyak bis-bis besar dari luar Jogja dan Jawatengah yang membawa para peziarah. Mereka berombongan dari Jakarta, Surabaya, bahkan dari luar pulau Jawa.
Namun sekarang sudah banyak tempat ziarah yang mengambil nuansa seperti Lourdes di Perancis. Di Kediri ada Poh Sarang yang benar-benar luas, di Banten ada Gua Maria Kanada yang merupakan singkatan dari Kampung Narimbang Dalam. Purwokerto memiliki Kaliori, Kuningan dengan Sawer Rahmatnya. Ambarawa ada Gua Maria Kerep dengan tamannya yang juga dijadikan tujuan wisata bagi muda-mudi non Katolik.

Di seputar Jogja sendiri ada banyak Gua Maria selain Sendang Sono. Menurut catatan saya, ada Gua Maria Lawangsih dan Jatiningsih diarah barat. Gua Maria Tritis dan Ngijorejo di Gunungkidul. Gua Maria Sriningsih di arah timur yang masih masuk daerah Sleman. Kearah utara namun diluar Jogja, selain Gua Maria Kerep masih ada Rosa Mistica di Jelok, Tuntang, Gua Maria Mawar Rosari di boyolali. Gua Maria Pereng di dekat lokawisata Kopeng. Gua Maria Bunda Ratu Besokor, di pinggir jalan tembus Weleri. Kearah timur Jogja, ada Gua Maria Marganingsih di Bayat, Gua Maria Giriwening yang sempat menimbulkan kerusuhan (Saya akan mengulas Gua ini), gua Maria Mojosongo di tengah kota solo, Gua Maria Pawitra Sinar Surya Tawangmangu, Gua Maria Sendang Ratu Kenyo di Danan, Wonogiri dan Gua Maria Fatima Sendang Waluya Jatiningsih di Klepu, Ponorogo (Jawatimur).

Gua Maria merupakan tempat devosi penghormatan terhadap Bunda Maria. Sosok seorang Ibu, bagi masyarakat jawa sendiri juga sangat dihormati. Ditempat seperti inilah para peziarah bagaikan seorang anak yang 'wadul', mengadu kepada Bundanya. Mengadu tentang keluh kesah dan kesulitan hidup. Mengadu agar disampaikan kepada Tuhannya yang juga menurut iman Katolik adalah Putra Maria, Yesus. Maka tidak heran karena kesamaan budaya ini, Gua Maria akan selalu ramai pada bulan dimana devosi penghormatan dikhususkan kepada Bunda Maria ini. Tempat-tempat tersebut sebagian besar berada didaerah yang sejuk dan menyegarkan, sehingga akan membantu ketenangan kala berdoa, bahkan saya sendiri seringkali malah tidak berdoa karena tertidur kelelahan dan dibuai segarnya udara dan suasana :D .

Gua Maria yang paling akhir dibangun, dan sampai sekarang belum selesai pembangunannya karena sempat didemo oleh FPI adalah Gua Maria Giri Wening. Gua Maria  yang berada di deretan pegunungan selatan yang membentang dari Imogiri, Bantul ini bernaung dibawah Paroki Wedi klaten. Namun demikiansecara administratif pemerintahan masuk wilayah Gunungkidul, Jogja. Lokasinya berada di dusun Sengon Kerep Rt. 02/04 Sampang, Gedangsari, Gunungkidul, Yogyakarta. Koordinat tempatnya berada pada -7.8066193, 110.5644643. Lokasinya memang berada di perbatasan antara Kabupaten Klaten dan Gunungkidul.

Gua Maria ini dinamai Gua Maria Wahyu Ibuku. Patung Bunda Maria setinggi 2 meter cukup berbeda dengan Gua Maria lainnya. Patung ini digambarkan sedang menggendong bayi Yesus, menurut saya ini sangat 'Njawani', menunjukkan peran seorang Ibu dari Bunda Maria. Patung ini didirikan berlatar belakang batu hitam besar memanjang, yang masih sejenis dengan batuan di Gunung Purba Nglanggeran, daerah Patuk, Gunung Kidul. Batuan tersebut oleh penduduk setempat dinamakan watu Gedhek. Gedhek sendiri merupakan sebutan untuk anyaman bambu yang biasanya dipakai untuk dinding rumah atau untuk menjemur gabah. Karena bentuknya yang seperti dinding memanjang inilah mungkin batu tersebut dinamakan watu Gedhek.

Taman doa ini dibangun diatas tanah keluarga Ibu Gito Suwarno mulai tahun 2009 atas dasar wangsit atau wahyu yang diterima Bapak Romanus Pambudi. Wahyu yang diterima berupa turunnya cahaya meyerupai salib yang mengarah ke kebun dibelakang rumah mereka, yang sekarang dijadikan tempat patung Bunda Maria tersebut. Berdasarkan musyarawarah keluarga, dan penghormatan kepada ayah mereka, almarhum Yusuf Paimin Gito Suwarno, yang telah menebur benih iman di lingkungan tersebut, maka dibangunlah tempat doa sederhana (sekarang masih ada patung Bunda Maria setinggi kurang lebih 30 cm) di lokasi tersebut. Dari Keluarga inipun sekarang ada 2 orang yang berkarya diladang Kristus sebagai Biarawan SCJ. 

Suasana tempatnya benar-benar sepi dan hening, terlebih saat bukan bulan maria. Hanya suara gemerisik angin yang menghembus pepohonan dan memantul di dinding-dinging batu. Suara kendaraan dari jauh pun sampai terdengar karena keheningan tempat ini. Suasana yang sangat membantu untuk tepekur, berdiam dan berdoa. Pepohonan jati menjadi suasana yang menghiasi perbukitan di daerah ini. Karena ketinggiannya, lokasi ini terasa relatif dingin, meskipun didaerah yang gersang.
Penamaan Gua Maria Giri Wening, atau lengkapnya Taman Maria Wahyu Ibuku Giri Wening saya rasa juga karena keheningan tempat ini, Giri atau gunung, yang Wening, atau hening. Dahulu tempat ini dinamakan Gua Maria Wahyu Ibuku Watu Gedhek, karena tempat pembangunannya di gunung Watu Gedhek. Kekhusukan akan dapat berubah cepat menjadi kantuk, karena memang tempat ini terasa begitu hening dan nyaman.

Pengalaman menarik ketika pertama kali mencari lokasi Gua Maria ini saya dan teman berpedoman kepada lokasi masjid tempat berkumpulnya komponen-komponen yang memrotes dan menolak pendirian Gua Maria ini.
Hal ini karena selain saya tidak mengetahui kondisi sebenarnya diseputar lokasi ini, juga karena gejolak tersebut belum lama terjadinya. Pertimbangan keamanan adalah alasan saya untuk tidak menanyakan langsung lokasinya. Namun hal yang menyegarkan dan mengherankan adalah ketika sudah sampai dekat lokasi, yang mengantarkan saya sampai ke Gua Maria malah justru seorang Ibu yang berhijab, dan beliau memang ramah. Dari Hal tersebut, saya berkesimpulan bahwa sebenarnya orang-orang sekitar tidak berkeberatan. Informasi yang saya dapat adalah bahwa para pendemo memang bukan berasal dari daerah sekitar, tapi dari Sukoharjo.
Hanya segelintir orang sekitar yang ikut dalam demo tersebut. Jika mencermati budaya dan kebersamaan masyarakat sekitar, jika penolakan itu dari masyarakat sekitar nampaknya hal tersebut kecil kemungkinan terjadinya, namun jika hanya oknum alias segelintir kecil, mungkin saja dengan mengundang orang-orang dari luar daerah.

Untuk menuju ke lokasi ini dapat ditempuh dari Klaten maupun dari Gua Maria Sriningsih. Namun demikian, jalur yang kedua ini tidak disarankan, karena medannya yang masih ekstrem, hanya cocok bagi mereka yang memang suka petualangan, baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan ground clearance yang tinggi.
Jalur pertama dapat ditempuh dari pertigaan Bendogantungan di jalan jogja-solo persis di sebelah barat kota Klaten. Dari Pertigaan Bendogantungan ambil jalur keselatan kearah kota Wedi. Setelah melewati Wedi, ambil jalur lurus kearah Gunungkidul,sampai ke Perempatan desa Gunungan dan itu pun masih ambil jalur lurus terus. Ikuti jalan ini terus melewati selokan yang biasanya kering hanya berisi pasir, sampai mentok pertigaan di kaki gunung dusun Jogoprayan. Di Pertigaan ini ambil jalur kekiri. Beberapa ratus meter, ada pertigaan ditengah perkebunan tebu (kalau belum dialih fungsikan) ambil jalur kekanan.
Jalur ini searah dengan tempat wisata Luweng Sampang. Beberapa puluh meter dari arah Luweng Sampang ini ambil jalur kekanan, dengan jalan hanya corblok semen. Dari lokasi ini jika masih bingung tinggal pakai GPS alias Gunakan Penduduk Setempat untuk bertanya... :D

Kendaraan besar seperti Bis menurut saya memang tidak bisa sampai ketempat ini. Diseputar Rumah Ibu Gito Suwarno ada halaman luas yang juga menjadi halaman dari kapel yang telah didirikan yang dapat menampung beberapa mobil maupun motor.
Kendaraan sekelas ELF atau pregio atau travello meskipun bisa parkir disini, namun ada satu tanjakan menikung yang akan sangat menyulitkannya untuk bermanuver, dan tentu saja sangat berbahaya. Jikapun terpaksa rombongan besar menggunakan bis atau pengangkut ringan seperti tersebut, maka sebaiknya diparkir dibawah dan jalan kaki sekitar 1km menuju kearah Gua.

Tempat penjualan makanan dan souvenir sampai saat terakhir saya kesini (awal 2015) masih hanya ditempat Ibu Gito Suwarno, sehingga untuk cadangan "amunisi" terutama makan besar, disarankan membawa dari rumah, atau mengontak langsung kepada penduduk setempat untuk memasakkan, lumayan membagi rejeki dengan penduduk setempat.





Previous
Next Post »
Lazada Indonesia
show_ads.js">