Sore itu terlihat dari sela pintu-pintu yang terbuka, pohon natal sudah mulai bersinar menampakkan kerlip lampunya di beberapa rumah yang berada di Penadaran, Gubuk, Purwodadi. Satu hal yang unik jika rumah-rumah panggung pendek yang hampir keseluruhan terbuat dari papan kayu itu didalamnya menyala lampu pada pohon natal. Unik karena perpaduan budaya terjadi di sini, pohon natal yang merupakan budaya dari Eropa (atau entah negara barat selain dari Nusantara) menyala di perkampungan yang jauh dari pusat kota, di jantung pulau jawa. Memasuki Penadaran memang terasa sedang tidak berada di jawa. Rumah-rumah panggung, yang bahan dindingnya sebagian besar atau malah seluruhnya dari papan kayu berjejer di kiri dan kanan jalan. Jika menilik keberadaanya yang berada disekitar hutan jati, hal ini memang tidak aneh. Hal yang aneh mungkin karena hobbyklayapan baru pertama kali ini sampai disini.
Penadaran memang dusun terakhir untuk sampai ke Gua Maria Sendang Jati. Perjuangan untuk sampai kesini lumayan berat. Ketika melihat di google Maps, hobbyklayapan tidak membayangkan bahwa akan masuk daerah yang serasa bukan di jawa ini. Bayangan hobbyklayapan adalah jalan yang melewati tengah perkampungan ini paling tidak jalan aspal meskipun jelek. Namun yang kami jumpai ternyata hanyalah cor semen. Kami pun sempat disesatkan oleh Maps yang membimbing kami untuk mengikuti jalur jalan tanah disepanjang aliran selokan yang bersumber dari bendung kali Tuntang. Alamak.... susahnya melewati jalan yang sudah mirip dengan sawah itu sendiri. Setelah beberapa kali hampir jatuh karena terperosok tanah becek, kamipun menyerah dan memilih untuk pindah jalur dengan bertanya kepada penduduk. Kami disarankan oleh seorang ibu untuk kembali kejalur utama antara Salatiga-Grubuk, menuju arah Kedungjati.
Saat berhenti untuk isi bbm, bapak pemilik toko menyarankan lewat jalur yang tadi kami lewati, yang tentu saja kami tolak. Maka kemudian dia menyarankan lewat jalur dekat saluran tadi, ditengah perkampungan, yang sudah kami lewati waktu menyerah dan balik ke jalur utama. Pada awalnya memang jalan lumayan bagus, cor dua jalur di kiri dan kanan. Tapi setelah beberapa kilometer, alamak... kok jalur berbelok kekanan, sedangkan jalur lurusnya jalur tanah dipinggir sawah, dengan tumpukan pohon cabai yang habis dibongkar. Naluri menuntun kami unutuk mengikuti jalan yang berbelok tadi. Ternyata, kami tersesat ditengah pekuburan pada sebuah bukit. Maka kami putar balik kembali dan memilih jalan tanah tadi. Beberapa saat, ternyata jalan tadi mengarah ke saluran air yang kami lewati pada arah hulunya. Kembali perjuangan berat menaklukkan jalan becek hingga pembonceng harus turun harus kami lakukan. Pada akhirnya setelah bertanya beberapa kali kepada penduduk, dan menyeberangi dam kali Tuntang, gerbang Penadaran ditengah sawah pun kami jumpai. Kami masih belum yakin sampai karena kondisi di lapangan sama sekali bukan jalan besar seperti bayangan kami sebelumnya.
Ketika berdebat mau melanjutkan atau berbalik, kami menemukan papan penunjuk ke Gua Maria. Lebih yakin lagi setelah setelah kami ikuti, kami menemukan Gereja Katolik St. Paulus di kiri jalan. Bayangan sebelum datang dan saat sampai dilokasi ini memang 180'. Satu hal yang menarik adalah kekhasan rumah-rumah penduduk di Penadaran ini yang hampir seluruhnya terbuat dari papan kayu jati, selain bentuknya yang juga berupa rumah panggung. Sampai diujung desa kami sempat bingung sebelum kami temukan penunjuk terakhir keberadaan Goa Maria.
Dilokasi kami mengira Gua Marianya sudah dekat karena jalan berakhir disebuah lapangan volley. Jalur selanjutnya hanyalah jalan setapak yang kami terjang juga dengan motor. Ternyata jalan ini merupakan awal prosesi jalan salib. Setelah melalui sebuah jembatan kecil, jalur yg ada hanyalah tatanan papan cor selebar kurang lebih 50cm saja. Jika terpeleset dipastikan kami akan jatuh ke tanah becek yang sepertinya rawa-rawa. Setelah perhentian pertama jalan salib. terdapat tanjakan yang sudah dibuatkan undakan, tapi sisi tengah bisa dilewati roda. Motor kami bawa naik. Perhentian jalan salib di Gua Maria Sendang Jati berbentuk gunungan. Hal ini juga terdapat pada latar belakang salib Yesus dibelakang Gua Maria di puncak bukit.
Berdiam dan berdoa disini sungguh nyaman dan tenang (pada saat kami datang, mungkin karena sudah sore hari, bukan hari libur dan bukan bulan Maria). Hanya suara alam berupa kicauan burung, dan gemerisik dedaunan jati yang tertiup angin yang terdengar. Hawa udaranya lumayan segar karena terdapat di ketinggian bukit. Naungan pepohonan juga melindungi dari sengatan matahari. Sayang karena sudah sore, dan hanya kami yang berada disitu, juga mengingat jalur turun yang ekstrem, apalagi kalau malam hari, maka kami tidak bisa berlama-lama berdoa saat itu.
Sarana yang tersedia juga sudah lengkap. Terdapat paling tidak 3 buah aula bundar yang bisa digunakan untuk menginap. Sarana MCK juga sudah tersedia, demikian juga listrik sudah dialirkan ke area ini, sehingga malam hari pun ada penerangan. Luas area ini mungkin bisa menampung ratusan umat secara bersama. Sebagai perbandingan, area disini mungkin seluas Gua Maria Sriningsih di Jogja timur, dan lebih luas sedikit (area doanya) dibandingkan dengan Sendangsono.
Ketika pulang kami mampir di gereja St Paulus Penadaran. Dari perbincangan dengan umat yang sedang mempersiapkan natal, kami mengetahui bahwa penduduk Penadaran ini meskipun bukan mayoritas Katolik, tapi sekitar separuhnya memang Katolik. Pantas saja diarea yang dilihat dari infrastrukturnya yang menurut pengamatan kami termasuk pelosok ini, terdapat gereja yang megah, sekaligus terdapat Gua Maria yang besar pula. Suasana Natal memang terasa saat kami melintas dijalan tengah perkampungan yang berupa cor semen dua sisi tersebut. Beberapa rumah penduduk berhias pernak-pernik Natal didepannya, demikian juga kami lihat di ruang tamu dari sela-sela pintu yang terbuka pada beberapa rumah tersebut.
Gua Maria Sendang Jati Penadaran terletak pada koordinat -7,12965 dan 110,69716. Dari lokasi ini, puncak menara Gereja St Paulus terlihat indah menyembul dari hijaunya pepohonan di sebelah kanan. Sebelah kiri hanyalah perbukitan dengan rimbunnya pohon jati. Jalur tercepat jika dari arah Salatiga memang memotong di daerah Kapung, setelah Kedungjati. Namun jalur ini mungkin hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua, atau kalau roda empat dengan spesifikasi offroad. Jalur paling manusiawi adalah melaju terus sampai kota Gubug, kemudian belok kanan arah Purwodadi. Setelah melewati jembatan Tuntang, Gubug, ambil jalur kanan kearah Jeketro. Di Jeketro ambil kanan arah Penadaran. Panduan paling mumpuni memang menggunakan GPS alias Gunakan Penduduk Setempat. Karena jika menggunakan peta elektronik saja semisal google Maps, bisa tertipu sehubungan dengan kondisi jalur jalan. Menurut salah satu umat yang berbincang dengan kami di Gereja, Bus besar bisa sampai ke lokasi parkir Gua Maria Sendang Jati. Menurut pengamatan kami, kalaupun bisa, harus disopiri oleh sopir yang benar-benar hebat. Hal ini karena jalan ini jelas tidak mungkin untuk berpapasan kendaraan sebesar bus. Untuk mobil kecil saja salah satu harus berhenti dan minggir dahulu sampai mepet pinggir jalan. Beberapa jembatan kecil juga menghadang.
Mobil sekelas sedan menurut kami juga tidak layak untuk dikendarai menuju lokasi ini, kecuali jika memang tidak sayang dengan tunggangan. Jika malam hari, jalur Salatiga - Gubuk tidak disarankan untuk dilewati. Selain karena terlalu sepi dan melewati hutan jati dan karet yang lumayan jauh, kata orang memang jalur ini rawan tingkat keamanannya. Jalur pilihan saat malam adalah dari pedurungan, Semarang menuju Grubuk. Terlepas dari tinggkat kesulitan untuk menuju lokasi ini, maka Gua Maria Sendang Jati di Penadaran, Grubuk ini memang layak untuk dikunjungi, untuk berdoa, untuk meletakkan beban hidup dan pikiran dengan menikmati keheningan dan kenyamanan lokasi, atau sekedar ingin tahu. Maka, siapkanlah kendaraan dan fisik anda, pelajari dahulu jalurnya agar tidak tersesat, dan Welcome to Gua Maria Sendang Jati.
ConversionConversion EmoticonEmoticon