JOGJA ga ade matinye
“Jalan-jalan di
JOGJA itu ndak akan ada habisnya”. Ungkapan ini memang benar adanya. JOGJA yang
tidak sebegitu luasnya ini memang menyimpan berjuta tempat indah juga dengan
budayanya ditambah lagi simpanan kenangan bagi mereka yang pernah tinggal
ataupun datang di kota yang sekarang menggunakan tagline ISTIMEWA ini. Mengelilingi tempat-tempat wisata yang ada di Jogja
memang tidak akan cukup dalam waktu satu minggu. Keindahan alam dari Sleman,
Kulonprogo, Bantul dan Gunungkidul, juga pusat budaya di tengah kota Jogja
memang akan membuat siapa saja rindu untuk berkunjung kembali ke Jogja. Hal
inilah salah satu yang menyebabkan Jogja akhir-akhir ini macet seperti di ibukota
kala liburan panjang.
Puncak Moyeng
Kali ini saya meluangkan waktu liburan bersama rekan-rekan dan meninggalkan kesempatan untuk bangun siang di hari libur untuk mengejar sunrise di Puncak Moyeng. Puncak Moyeng sendiri terletak di perbatasan Dusun Tileng Desa Pendoworejo dan Dusun Sekaro Desa Giripuwo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo pada koordinat -7.749057, 110.178673 dengan ketinggian diatas 120dpl. Puncak Moyeng sendiri merupakan satu dari puluhan puncak di barisan perbukitan Menoreh. Keistimewaan Moyeng karena langsung menghadap lembah disebelah timurnya. Dari sini pemandangan yang luas dari daerah Nanggulan Kulonprogo sampai Klaten sekalipun dapat langsung dinikmati. Beberapa puncak gunung, seperti Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Lawu juga terlihat dari puncak ini kala udara dan langit cerah. Ditimur Puncak ini, tebing jurang terjal dengan hijaunya pepohonan langsung menganga membuka pemandangan yang elok dibawah sampai nun jauh disana.
Puncak ini dapat ditempuh dari jalan Godean, lurus kebarat sampai perempatan Kenteng, melaju
terus kearah barat melewati pasar Kenteng sekitar 3 km sampai jalan menanjak
dan berkelok. Dari jalur utama, sekitar 2 km akan ada jalan dari cor semen
menanjak berkelok kearah kiri menjauhi jalur utama. Itulah jalur untuk ke
Puncak Moyeng. Dari sini kemungkinan kendaraan roda empat yang bukan spesifikasi
offroad akan sangat kesulitan untuk melanjutkan sisa perjalanan ke puncak. Sekitar
1 km kemudian ada jalan setapak di sebelah kiri. Dari tempat ini kendaraan bisa
diparkir (tidak ada penjaga dan tempat parkir yang layak) dan perjalanan harus
ditempuh dengan jalan kaki dengan jarak sekitar 50 meter kearah puncak. Sampai di
Puncak akan kita temukan pelataran yang hanya cukup untuk membangun beberapa
tenda, dengan tebing terbuka dan jurang disebelah timurnya. Itulah yang
dinamakan puncak Moyeng.
Dapat Apa sih Disini?
Pemandangan dari
puncak ini hampir 270’ memutar dengan area paling luas menghadap ke timur.
Dengan kondisi seperti ini, memang puncak Moyeng sangat cocok untuk berburu sunrise. Camping juga bisa dilakukan disini,
namun karena sumber air jauh, harus membawa cadangan air sendiri jika ingin
camping di area ini. Jangan lupa untuk minta ijin kepada penduduk setempat jika
anda ingin menginap.
Kami kurang
beruntung karena saat kami tiba disana ternyata langit sedikit mendung,
sehingga momen dramatis terkuaknya sang surya dari peraduannya tidak kami
dapati. Hanyalah pancaran disela-sela mega yang mendung yang sempat kami jumpai
waktu itu.
Matahari sudah
meninggi, perjalanan berlanjut menyusuri keindahan-keindahan lain di kawasan
menoreh. Meninggalkan Moyeng, kami mengambil jalur ke arah Gua Kiskenda. Sekitar
1 km dari Puncak Moyeng ini ada satu tanjakan yang seringkali membuat kendaraan
tidak kuat menanjak. Jangan menggunakan kendaraan yang tidak sehat ketika
melewati jalur ini, karena taruhannya nyawa. Jika kendaraan mundur, bisa jadi
langsung masuk jurang, karena jalanan ini berada di punggung bukit dengan
jurang sangat tinggi disisi kanan, dan jurang kebun disisi kirinya.
Menyusuri Menoreh, tanahnya Mahesa Jenar (cerita api di bukit Menoreh, S.H. Mintardja)
Gua Kiskendo kami
lewati, sekitar 200 meter diatasnya kami mengambil jalur kekiri kearah Sermo. Setelah
menempuh jarak sekitar 2,5 km kami mendengar suara gemuruh. Berhenti karena
penasaran, kami menemukan sebuah aliran sungai kecil. Setelah mencari ternyata
ada curug yang bernama Sigembor disebelah kanan kami. Motor kami parkir begitu
saja dipinggir jalan karena memang tidak ada bangunan atau rumah penduduk untuk
menitipkan kendaraan. Dengan sedikit susah payah menembus kebun dan ada yang
menyusuri aliran sungai kecil kami akhirnya tiba dibawah curug tersebut. Curug
ini lumayan indah, namun area untuk menikmatinya belum tertata dan begitu
sempit. Kami menemukan jalan setapak, namun diberi pagar. Setelah sampai Curug
Kembangsoka kami baru tahu, ternyata alasan pemagaran ini karena masih ada
masalah dengan pemilik lahan. Beberapa saat kami manfaatkan untuk foto-foto
dilokasi ini sebelum perjalanan kami lanjutkan kembali.
Kembang Soka, Indahnya Celah Tebing Luncuran Air
Sekitar 1 km
kemudian kami menemukan papan promosi air terjun disebelah kiri kami yang
menunjukkan lokasi parkir Curug Kembangsoka arah masuk kekiri sejauh 100m.Sempitnya
jalan sepertinya tidak mungkin untuk masuk kendaraan roda empat. Hanya
kendaraan roda dua yang bisa parkir di sebuah rumah penduduk sebagai poin
pertama untuk menyusuri jalur jalan setapak menuruni tebing menuju air terjun
tersebut. Lokasi Curug sendiri pada koordinat -7.766780, 110.117507, di desa Gunung Kelir, Jatimulyo,
Girimulyo, Kulonprogo dan tentu saja masih di JOGJA yang Istimewa.
Menurut cerita
dari Pak Ngatiman, pemilik rumah tempat parkir kendaraan tadi, curug ini memang
baru dibuka untuk wisata umum sekitar januari 2015. Ketika kami dipandu Pak
Ngatiman menyusuri jalan setapak dari tempat parkir, jalur tersebut memang terlihat
belum lama dibuat. Jalan setapaknya memang tidak terlalu berbahaya, namun
demikian disarankan membawa tongkat berjalan bagi yang ingin turun ke air
terjun untuk mengurangi hentakan pada lutut. Pertama kali menyeberangi sungai
kecil, kami mengira bahwa itu adalah air terjunnya. Setelah menyeberangi sungai
kecil tersebut dan naik lebih sedikit, ternyata pemandangan yang lebih
mempesona nampak didepan mata kami. Saya menyebutnya “Grand Waterfall of
Kembang Soka” karena didepan mata kami ada pasangan air terjun dari arah lain
yang gagah menuruni tebing yang terekspos bebatuannya. Beberapa aliran yang berliku serta menyebar membuat suara gemuruh
di lembah yang terbuka tersebut. Ujung air terjun muncul dari balik pepohonan
diatas tebing, dan menyebar menuruni tebing-tebing yang terekspos.
Kembang Soka
sendiri sebenarnya adalah sebuah mata air yang menjadi cikal bakal dusun
tersebut. Kami diajak berkeliling oleh Pak Ngatiman untuk melihat mata air yang
masih begitu jernih tersebut. Air terjun Kembang Soka berasal dari 3 mata air,
yaitu mata air Kembang Soka, mata air Tuk Jaran, dan satu sungai lagi berasal dari sekitar tebing Gunung Kelir, daerah Mudal (kalau tidak salah namanya sungai Mudal). Sungai yang kami lewati sebelum turun dan merupakan sumber air terjun daerah kiri adalah sungai Miri. Jadi air terjun ini merupakan perpaduan dari Sungai Mudal, Sungai Jaran dan Sungai Miri. Dahulu kala “tempuran” atau pertemuan dari dua air terjun ini sering digunakan untuk bermain dan mandi bagi anak2 sekitar dan para penduduk. Waktu itu dinamakan “Pangonan” karena sering dipakai untuk ternak mencari makan, mungkin banyak rumput disekitar aliran sungai ini.
yaitu mata air Kembang Soka, mata air Tuk Jaran, dan satu sungai lagi berasal dari sekitar tebing Gunung Kelir, daerah Mudal (kalau tidak salah namanya sungai Mudal). Sungai yang kami lewati sebelum turun dan merupakan sumber air terjun daerah kiri adalah sungai Miri. Jadi air terjun ini merupakan perpaduan dari Sungai Mudal, Sungai Jaran dan Sungai Miri. Dahulu kala “tempuran” atau pertemuan dari dua air terjun ini sering digunakan untuk bermain dan mandi bagi anak2 sekitar dan para penduduk. Waktu itu dinamakan “Pangonan” karena sering dipakai untuk ternak mencari makan, mungkin banyak rumput disekitar aliran sungai ini.
Kealamian jangan sampai berganti Kelalaian
Pada sekitar
tempuran dua air terjun ini sekarang dibuat bendungan kecil dari bebatuan,
sehingga ada kolaman untuk bermain air. Kedalaman kolam ini hanya sedada orang
dewasa. Bagi yang ingin bermain air lebih dalam lagi, pada bagian hilir dari
tempuran ini kabarnya juga dibuat kolaman yang lebih dalam dari 1 meter oleh
para pemuda setempat. Ketika mencoba turun ke aliran airnya, ternyata air di
Kembang Soka sangat menyegarkan, dingin, segar, dan bersih, karena berada di
ketinggian perbukitan menoreh. Tebing-tebing tempat mengalirnya air meskipun
terlihat seperti berlumut agak kekuningan, tapi ternyata tidak licin untuk
dilalui, sehingga bagi yang ingin mengambil gambar, bisa langsung mendekat ke
aliran airnya dengan mengikuti aliran airnya.
Air terjun yang
kami temui kali ini sungguh eksotis di keheningan Menoreh. Segeralah berkunjung
kesini, sebelum lokasi ini menjadi kurang nyaman lagi dengan berjubelnya
pengunjung. Hal yang sama juga terjadi di beberapa tempat wisata di Jogja,
ketika sudah mulai dikenal, euforia pengelola wisata menjadikan kurang siapnya
menyambut limpahan pengunjung, sehingga suasana hening, tenteram dan nyaman
menjadi berkurang, seiring mengalirnya rupiah ke daerah tersebut.
foto-foto lebih lengkap dapat dilihat di: https://www.facebook.com/ristsaint/media_set?set=a.10205949168467752.1073741886.1215962103&type=3
ConversionConversion EmoticonEmoticon